Cerpen : Jarak yang Memisahkan Kita

Jarak yang Memisahkan Kita

KARYA : rvaesnavadeva

“Hei,kita bermain kejar-kejaran?”
            Sudah empat tahun yang lalu ketika dia mengatakkannya. Saat itu, kami baru saja keluar dari sekolah kami, berlarian ke sana kemari melewati jalan setapak, atau sekedar menghabiskan waktu kami dengan bermain-main di dalam hutan.
            “Rika tunggu!”
            Rika adalah teman masa kecilku. Seorang perempuan berwajah cantik dengan tatapan mata yang menenangkan.
            Dan saat ini, ketika dia berlari, rambutnya yang panjang bergerak berantakan seolah tertiup angin. Membuat segala hal tentang dirinya menjadi semakin sempurna dan indah. Rika, aku menyukainya.
            “Kamu akan kalah kalau tidak mengejarku,” ujarnya di depanku.
            Aku mengalihkan pandanganku, tersenyum dengan penuh maksud dan mempercepat tempo langkahku.
            “Aku yang akan menang, Rika,”
            ***
            Waktu itu, musim gugur. Musim di mana dedaunan jatuh berguguran, menciptakan pemandangan oranye yang melekat di mataku. Dan ketika itulah, aku mengungkapkan apa yang aku impikan semenjak pertama kali aku melihat senyum Rika. Aku mengungkapkan perasaanku kepadanya.
            “Rika, aku menyukaimu,”
            Dedaunan yang tidak terhitung jumlahnya, jatuh menghiasi udara. Dan di bawah kaki kami, dedaunan menutupi jalan sehingga tampak seperti sebuah karpet yang bermotifkan dedaunan.
            “Apa?” kata Rika sambil melepaskan syal dari lehernya.
            “A-aku mencintaimu.”
            Dia menatapku selama beberapa detik. Aku pikir, oh! Astaga! Ini akan menjadi sangat-sangat canggung.
            “Beberapa detik yang lalu kamu berkata kalau kamu menyukaiku, tapi sekarang…” dia membenarkan syalnya yang masih terasa longgar, “kamu merubahnya dengan mengatakan kalau kamu mencintaiku, manakah yang benar?”
            “I-itu…” aku bingung hendak menjawab apa, “Aku juga tidak yakin,”

            “Oh begitu?”
            Rika berjalan dengan tegap sambil menenteng tasnya. Dan beberapa langkah kemudian, dia memutar kepalanya dan menatapku, “Aku tidak bisa menjawab kalau kamu tidak mengatakannya dengan yakin,”
            Rika terus berjalan dan aku mengikutinya.
            “Aku kurang yakin apa?”tanyaku.
            Tanpa menoleh, ia menjawab. “Tidak tahu, pikir saja sendiri!”
            Sepertinya aku telah membuat seorang perempuan marah, dan aku tidak tahu apa alasannya. Aku pikir, mengungkapkan perasaan bukanlah suatu kesalahan, malah itu adalah hal yang benar. Tapi apa kesalahanku? Atau mungkin?
            “Aku mencintaimu.”

            Rika memutar tubuhnya, bersamaan dengan datangnya angin yang menghembus tubuh kami berdua. Dia hanya menatapku dengan datar, aku menarik nafasku dalam-dalam dan kembali berkata.
            “Aku mencintaimu,” teriakku kepada perempuan di depanku.
            Rika berjalan mendekatiku, aku menutup mata. Oh! Apa aku melakukan hal yang salah lagi? Mungkin dia akan menghampiriku dan menampar pipiku, atau yang lebih buruk…memukulku?

            “Juno,” panggilnya.
            “Ya?” jawabku sambil membuka mata.
            Tangan lembut Rika menggenggam erat tangaku. Tangannya yang lembut itu terasa hangat, menghangatkan seluruh tubuhku dan hatiku.
            Lalu, di siang itu. Kami berciuman, itu adalah ciuman pertama kami. Di bawah rindangnya dedaunan yang saling berguguran, aku dan Rika berciuman.
            Perasaan yang saling bertautan ini, adalah perasaan kami.
            “Juno.”
            “Hmm? Ya, Rika?”
            “Aku juga mencintaimu,” begitu katanya.
            “Aku juga,”

            ***

            Sinar matahari memantulkan cahaya redup di kamarku. Melalui jendela, aku bisa melihat awan-awan yang bertenger ringan di antara langit biru, seolah tidak terkekang oleh waktu. Perlahan terus bergerak mengikuti arah angin membawanya.
            Lalu aku terbangun dari tidurku. Saat aku membuka mataku, sebuah perasaan aneh yang seolah membentur perasaanku, terasa di dadaku. Jantungku berdegup kencang, namun aku tetap bersikap santai seolah tidak terjadi apa-apa.
            Ini bodoh, aku segera bangkit dan berganti pakaian.
            “Jarak yang memisahkan kita ini..apakah akan menjadi masalah? Dulu kamu bilang ini akan baik-baik saja, tapi setelah sekian lama…lupakanlah!”
            Itu adalah pesan yang Rika tuliskan kepadaku, namun aku tidak pernah membalasnya. Aku hanya sekedar mengetik jawaban lalu aku akan menghapusnya kembali. Karena aku tidak yakin, apakah jawaban yang akan aku tuliskan itu akan tepat.
            “Rika, aku masih mencintaimu, “ <DELETE>
            “Apakah jarak ini mengganggumu?” <DELETE>
            “Kita? Perlukah kita berpisah?” <DELETE>

            Aku selalu menghapusnya, setiap kata yang aku tuliskan untuk membalasnya, aku pasti akan menghapusnya. Entah karena tidak yakin, atau karena aku takut. Yang pasti, aku menghapusnya.

            Dua tahun yang lalu, Rika pindah ke kampung halaman ibunya. Saat itu, kami sedang duduk berdua di dalam taman, sebelum dia mengatakan itu kepadaku.
            “Aku akan pindah,” katanya.
            “Kemana?”
            “Ke tempat yang jauh,” Rika menunjuk ke arah langit, yang mungkin menunjukkan bagaimana jauh jarak yang harus ditempuhnya.
            “Sebegitu jauhnya?” tanyaku sambil menggenggam tangannya.
            “Ya,”
            Hening sejenak di antara kami. Hanya ada suara dedaunan yang bergerak tertiup oleh angin. Dimana perasaan kita ini, saling diadukan. Orang yang aku cintai, harus pergi.
            “Apakah kamu akan kembali?” aku bertanya.
            Dia terkejut, menundukkan kepalanya dan menjawab dengan agak lirih, “mungkin, aku tidak tahu,”
            “Begitu ya,”
            “Maaf.”
             Aku tetap tersenyum, “Tidak apa-apa, aku akan menunggumu, sampai berapa lama-pun...aku akan tetap di sini menunggumu,”
            Yah, mungkin itu adalah kata-kata yang aku ucapkan kepadanya pada hari itu. Seingatku, dia membalas senyumanku dan kami saling berpelukkan di taman itu sambil menangis. Kejadian yang dramatis, tapi tidak sedramatis kenyataannya.
            Karena kenyataannya aku membohonginya, karena di saat aku bilang, Aku akan menunggunya, sampai berapa lama-pun, pada hari itu juga, aku meninggalkannya.
            Keluargaku juga ikut pindah, pergi ke kota seberang yang jauh, untuk mengikuti ayahku yang ditugaskan di sana. Aku-pun pindah, meninggalkan sejuta janji yang aku janjikan kepadanya di kota itu. Di saat aku bilang aku akan menunggunya, ternyata aku malah meninggalkannya.
            Jarak kami yang semakin jauh, entah apakah bisa kita mempertahankannya. Karena ini adalah jarak yang dapat memisahkan kita.

            Tapi kami masih sempat bertukar pesan, entah sudah berapa ribu pesan yang saling terkirim dan diterima oleh kami. Kata-kata manis,penyemangat, perasaan yang tak terucap. Semuanya kami kirimkan dalam bentuk pesan teks. Namun, pada hari itu, di saat awan sedang secerah harapanku, pesan-pesan itu mendadak berhenti berdatangan.
            Apa yang terjadi saat itu?Aku sudah tidak mengerti, karena sejak pesan-pesan itu berhenti berdatangan, kami sudah tidak pernah berkomunikasi lagi.

            Aku pernah menyukai seseorang, namanya adalah Nicol, dan dia-pun mungkin juga menyukaiku. Dia sering menungguku di parkiran sekolah, lalu kami berjalan kaki bersama, dan kadang aku memberinya boncengan dengan sepedaku. Masa-masa yang indah, saat itu aku benar-benar menyukainya.
            Nicol, dia adalah perempuan paling cantik yang pernah aku temui. Bibirnya yang merah, senyumannya yang manis, semua terlihat sempurna. Di saat aku mengharapkan hubungan lebih dari seorang teman, dengan mendadak dia berkata kepadaku.
            “Ada seseorang yang lebih berharga dariku bukan?” katanya, “Seseorang yang penting, di hidupmu,”
            Aku tidak bisa menyanggah pernyataannya. Dengan berat hati, kupaksakan kepalaku untuk mengangguk, “Ya, kamu benar,”
            “Sudah aku duga, karena wajahmu sudah menjelaskan segalanya,” dia berjalan melewatiku, dan sebelum dia pergi, dia menepuk pundakku dan berbisik, “Temui dia, itu adalah hal terakhir yang dapat kamu lakukan bukan?”
            Dan setelah itu, Nicol pergi. Itu adalah terakhir kalinya aku berbicara dengan Nicol. Selamanya.

            Apakah aku harus menemuinya? Menemui Rika? Setelah sekian lama kami tidak bertemu? Walaupun aku sudah mencoba melupakannya, tapi segala hal tentang dirinya selalu bermunculan di dalam benakku. Entah itu wajahnya, senyumnya, atau kata-kata yang selalu dia ucapkan kepadaku. Aku belum bisa melupakannya.
            Kembali menutup mata, aku melihat sesosok siluet di dalam mimpiku.
            “Rika”

***
            “Jadi sekarang kita bertemu?”
            Kafe di pinggir jalan, dan hujan yang turun di luar sana. Aku duduk terdiam sambil menikmati suasana hening ini, sebelum perempuan di depanku memulai pembicaraan.
            “Ya,” jawabku enteng sambil menyeruput kopi.

            Dia melakukan hal yang sama, terdiam sambil memandang rintikan air hujan melalui jendela. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu, entah apa itu. Tapi dia terlihat bahagia di saat terdiam saat ini.
            “Kamu tahu?Aku selalu memikirkan banyak hal di saat hujan turun. Tentang kita, yang selalu bermain hujan-hujanan di saat hujan turun dulu, entah kenapa aku selalu memikirkannya,” dia berhenti memandang jendela dan balik menatapku.
            “Ya, kadang aku juga melakukannya,”jawabku. “Kamu ingat? Setiap turun hujan,aku pasti akan keluar untuk mengajakmu bermain hujan-hujanan bersama, walaupun pada akhirnya ibumu memarahi kita karena kita tidak ijin saat keluar,”
            Kami tertawa mengingat momen itu. Tawa yang sudah lama tidak aku dengar darinya, kini aku bisa mendengarnya kembali.
            Alunan melodi dari nostalgia manis kembali berputar di benak kami, masing-masing dari kami tersenyum, dan di hari itu kami bercerita mengenai banyak hal tentang masa-masa indah yang pernah kami lalui di masa lampau.
            “Baik, aku harus pergi,” dia dengan gerakan yang agak lamban berdiri dari kursinya.
            “Kamu harus pergi? Apakah kamu sedang terburu-buru?”
            “Yah, seperti biasanya, ada banyak sekali urusan di hidup ini,” dia mengedikkan bahunya, “Hal ini kadang melelahkan,”
            “Aku tahu,” aku mengangguk mengerti, “Padahal biasanya kamu tidak sesibuk ini kan, Rika?”
            Rika terkekeh pelan, berhenti sejenak dan memandang ke sekitarnya dengan pandangan yang dingin, “Jaman sudah berubah, dan..pertambahan usia merubah kita bukan?” dia kembali tertawa sambil menundukkan wajahnya yang manis itu, “Oh! Aku tidak yakin apa kamu akan mengerti ini, tapi Juno, aku punya sedikit saran untukmu. Carilah kesibukan, dan pasangan hidup,”
            “Aku tahu, aku akan mencoba mencarinya,” jawabku sambil menyesap kopi.

            Tepat di depanku, dia melambaikan tangannya. Dan sepercik cahaya dari cincin yang digunakannya di jari manisnya terlihat di benakku. Seakan dia hendak memamerkan cincin pertunangannya itu kepadaku.

            “Selamat tinggal, Juno, semoga kamu menemukan kebahagiaanmu,” begitu katanya.
            “Ya, kamu juga, Rika.”

            Aku terus memandang punggungnya yang semakin menjauh itu, sampai keluar dari pintu kafe. Saat di luar-pun aku masih memandanginya dari jendela, menatapnya saat membuka payung, dan menghilang di antara turunnya hujan.
            Jendela di depanku seolah menjadi layar televisi bagiku. Aku terus terpaku memandanginya sampai tersadarkan oleh suara mesin kopi.
            Sepucuk surat Rika tinggalkan di atas meja. Dengan perasaaan yang gundah, aku meraih dan membukanya secara perlahan.
           
            Kepada Juno,

            Terima kasih sudah memberiku secercah harapan di saat kita masih kecil. Di saat kita dewasa sekarang, aku ingin kamu menjadi seseorang yang lebih baik. Tidak sepertiku saat kecil dulu, aku ingin kamu menjadi seseorang yang lebih dewasa. Memiliki harapan kuat untuk masa depanmu.
            Hari-hari yang kita lalui dulu, terasa menyenangkan. Aku bahkan kadang menangis saat mengingat semua masa indah yang kita lalui saat itu.
            Di balik perempuan kuat sepertiku, pasti ada penderitaan, dan itulah contohnya. Mengingat masa lalu kita kadang membuatku sakit, dan mungkin salah satu cara mengobatinya adalah dengan melupakannya dan membuka lembaran baru.
            Terima kasih atas cinta yang kamu berikan. Maaf aku sudah meninggalkanmu, maaf karena aku terpaksa memutuskan hubungan kita. Karena aku pikir, hubungan jarak jauh tidak akan bisa menyatukan kita, dan ternyata itu benar. Kita berpisah.
            Karena Jarak yang Memisahkan Kita ini, memiliki titik berat untuk kita hadapi.
            Aku berharap kamu bahagia.

            Rika

            Aku menutup surat itu, perasaan bercampur aduk di dalam dadaku. Tapi aku bisa menerimanya, tersenyum kembali ke arah jendela, sambil kembali melihat hujan yang turun semakin deras.
            “Jarak yang berhasil memisahkan kita,”




           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar